Oleh: Abdul Kadir*
Siti Walidah lahir di Yogyakarta pada 3 Januari 1872 M.
Ia berasal dari keluarga yang sangat taat beragama. Ayahnya adalah seorang penghulu kraton bernama H. Muhammad Fadlil bin Kiai Penghulu Haji Ibrahim bin Kiai Muhammad Hassan Pengkol bin Kiai Muhammad Ali Ngraden Pengkol.
Sementara itu, sang ibu dikenal dengan nama Nyai Mas, yang juga berasal dari Kampung Kauman, Yogyakarta. Dengan latar belakang keluarganya, tidak heran apabila Siti Walidah sejak belia sudah diajari mengaji Al-Quran.
Sejak kecil, ia juga tidak pernah menempuh pendidikan formal. Sebab, pandangan masyarakat Kauman pada saat itu menganggap bahwa sekolah di sekolah formal adalah hal yang haram. Terlebih lagi, pada masa itu, sekolah-sekolah banyak didirikan oleh Belanda. Oleh karena itu, pendidikan yang diterima Siti Walidah hanya berasal dari kedua orang tuanya.
Sejak usia 9 tahun, Siti Walidah dipingit oleh kedua orang tuanya sampai tiba saat ia menikah dengan Muhammad Darwis atau yang lebih dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan. KH Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah pada 1889 yang baru berusia 17 tahun, sedangkan Ahmad Dahlan berusia 21 tahun. Sejak menikah dengan Ahmad Dahlan, Siti Walidah lebih akrab disapa sebagai Nyai Ahmad Dahlan.
Pemikiran Dan Kontribusi Terhadap Ksetaraan Gender Atau Ham Nyai Siti Walidah
Berbicara tentang pendidikan di masa Nyai Ahmad Dahlan ataupun Nyai Siti Walidah, perempuan dan pendidikan adalah dua hal yang bertolak belakang. Oleh karenanya Nyai Ahmad Dahlan mencoba untuk mendekatkan keduanya.
Menurut Nyai Ahmad Dahlan perempuan mestilah terdidik. Perempuan harus memiliki keterampilan hidup. Maka untuk itu, dengan pendidikanlah harkat seorang perempuan itu menjadi terangkat. Kemudian langkah nyata dari pemikiran Nyai Ahmad Dahlan ini beliau aplikasikan dengan membuat sebuah madarasah. Nyai Ahmad Dahlan menginisiasi kelas-kelas khusus bagi perempuan, termasuk mengajarkan agama, keterampilan hidup, dan ilmu pengetahuan dasar. Hal ini membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik.
Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Aisyiyah pada tahun 1917, organisasi perempuan dibawah Muhammadiyah. Aisyiyah fokus pada pemberdayaan perempuan melalui pendidikan, kesehatan, dan kegiatan sosial. Melalui organisasi ini, ia mendorong perempuan untuk berpartisipasi aktif dalam masyarakat, organisasi ini khusus untuk mendidik anak perempuan.
Dalam upaya mendidik anak-anak perempuan tersebut, Nyai Ahmad Dahlan menjadikan kedisiplinan sebagai pondasi awal dalam kesuksesan. Oleh karenanya dalam kelembagaan Ahmad Dahlan yang menjadi ciri khas terhadap binaannya itu adalah tentang kedisiplinan. Beberapa contoh kedisiplinan yang dijalankan beliau dalam madarasahnya yaitu disiplin dalam pulang belajar, salat berjamaah tepat waktu, bangun pagi dan disiplin dalam melakukan tugas lainnya.
Tujuan dari disiplin ini adalah agar anak anak perempuan memiliki rasa tanggung jawab dalam hidup mereka terutama dalam memanfaatkan waktu sehingga masalah nya adalah bukan tentang bagaimana seseorang mengatur waktu tapi bagaimana seseorang itu bisa menempatkan skala prioritas dalam hidupnya.
Selanjutnya tuntutan untuk disiplin tersebut juga sudah menjadi paradigma yang berakar pada diri Nyai Ahmad Dahlan. karena jika melihat pengalaman Nyai Ahmad Dahlan, beliau hidup dalam keluarga penghulu sudah jelaslah segala aturan-aturan agama yang ketat mengikat anak perempuan seperti Kyai Ahmad Dahlan. Semasa kecilnya disiplin juga Menjadi salah satu metode mengajar Nyai Ahmad Dahlan.
Konteks Pemikiran Siti Walidah (Sosio Politik Kultural
Pemikiran Siti Walidah atau lebih dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan dalam soal pendidikan dikenal dengan konsep “catur pusat” yakni, suatu formula pendidikan yang menyatukan empat komponen: pendidikan di lingkungan keluarga, pendidikan di dalam lingkungan sekolah, pendidikan di dalam lingkungan masyarakat dan pendidikan di dalam lingkungan tempat ibadah.
Catur pusat itu merupakan satu kasatuan organik, yang apabila dilakukan secara konsisten akan membentuk kepribadian yang utuh. Gagasan itu akhirnya dapat diwujudkan dalam bentuk sekolah. Mula-mula beliau mendirikan Madrasah Ibtidhaiyah Diniyah Islamiyah pada tahun 1912 dengan menggunakan sistem pembelajaran model Belanda.
Pada awalnya terobosan ini menimbulkan pro dan konta di masyarakat dan di kalangan kaum Muslim Kelompok yang pro tehadap terobosan ini beragumen bahwa model pendidikan seperti itulah yang akan diterima oleh masyarakat, karena, ia pada hakikatnya melakukan modernisasi model pendidikan Islam dari sistem pondok pesantren dengan pendekatan tradisional menjadi modern, dengan tetap mempertahankan ciri khas pelajaran dan pendidikan Islamnya. Hal-hal yang positif dari Barat tidak harus ditolak tetapi diakomodir dengan diberi sentuhan nilai-nilai Islam.
Untuk suatu pembiasaan, ada dua jenis pembiasaan yang ditanamkan Nyai Ahmad Dahlan dalam prosespendidikan. Pertama adalah dengan kebiasaan yang otomatis dan yang kedua adalah kebiasaan yang dilakukan dengan sadar terhadap pengertian dan kesadaran terhadap manfaat juga tujuan dari kebiasaan.
Kedua kebiasaan inilah yang sebenarnya ingin dicapai oleh Nyai Ahmad Dahlan dalam pendidikan internalnya. Selanjutnya yang penting dalam pendidikan menurut Nyai Ahmad Dahlan adalah tentang budi pekerti.
Dalam ilmu, pendidikan, masuk ke dalam ranah afeksi sementara pengetahuan masuk kepada kelompok kognisi dan keterampilan masuk kepada ranah psikomotorik. Itulah pentingnya budi pekerti sehingga setiap Nyai Ahmad Dahlan ceramah hal itu selalu ia sampaikan kepada para anak didiknya.
Dengan kontribusinya, Nyai Ahmad Dahlan telah membuka jalan bagi perempuan Indonesia untuk mendapatkan pendidikan dan mengambil peran aktif dalam membangun masyarakat. Jejak perjuangannya masih terasa hingga kini, terutama dalam program-program Aisyiyah yang tetap aktif memajukan perempuan di berbagai bidang.
Kesimpulan
Relevansi langkah nyata dari pemikiran Siti Waidah atau Nyai Ahmad Dahlan ini bahwa beliau aplikasikan dengan membuat sebuah madarasah. Nyai Ahmad Dahlan menginisiasi kelas-kelas khusus bagi perempuan, termasuk mengajarkan agama, keterampilan hidup, dan ilmu pengetahuan dasar. Hal ini membuka kesempatan bagi perempuan untuk mendapatkan akses pendidikan yang lebih baik. Dan Siti Walidah berhasil mendirikan Organisasi yaitu Aisyiyah pada tahun 1917, organisasi perempuan di bawah Muhammadiyah. Aisyiyah fokus pada pemberdayaan perempuan melalui pendidikan,kesehatan, dan kegiatan sosial.
Referensi
Abidin, Zainal. “Kesetaraan Gender dan Eman Sipasi Perempuan dalam Pendidikan Islam,”
dalam Jurnal Tarbawiyah, Vol. 12 No.1 Tahun2015
Agustiana, Annisa. “Perspektif Patriarki dan Peran Wanita dalam Keluarga Islam,” dalam
Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia, Tahun 2023.
al- Hamdani, Risalah Nikah, Jakarta: Pustaka Amani, 2002.
Novalia, N. Ulama Perempuan dan Dedikasinya dalam Pendidikan Islam Studi Pemikiran Nyai
Khoriyah
Hasyim 1908-1983. (Pustaka: 2013
* Mahasiswa Pascasarjana UIN Mataram