Koin, Cahaya, dan Mimpi Rina

MALAM itu, Rina duduk di depan ring light kecilnya yang mulai meredup. Ponselnya bertumpu pada tripod murahan yang sudah mulai miring. Ia menghela napas panjang sebelum menekan tombol “Mulai Live”.

“Selamat malam, teman-teman! Apa kabar semua?” katanya dengan senyum dipaksakan.

Live streaming dimulai, tapi seperti biasa, butuh waktu sebelum penonton berdatangan. Selama beberapa menit pertama, jumlah penontonnya hanya belasan orang, sebagian besar hanya mampir sebentar dan pergi.

 

Komentar mulai bermunculan:

“Joget dulu, Kak!”

“Nyanyi dong!”

“Cantik banget, salam kenal!”

Ia tertawa kecil, menuruti permintaan mereka. Ia menyanyikan sebuah lagu yang sedang viral, meskipun suara dan hatinya tidak seceria yang terlihat di layar.

Notifikasi donasi muncul:

“Seseorang mengirimi Anda Mawar.”

“Seseorang mengirimi Anda Love.”

Koin yang masuk sedikit demi sedikit. Ia terus berusaha menghibur penonton, berharap ada yang berbaik hati mengiriminya hadiah lebih besar—singa, jet pribadi, atau balon udara—tapi itu hanya angan-angan.

Tiga jam berlalu. Ketika ia menutup live, total koin yang ia dapatkan hanya 12.500 koin, setara dengan Rp12.500.

Ia menatap layar ponselnya, lalu menarik napas dalam. “Besok coba lagi,” gumamnya, mencoba menghibur diri sendiri.

Uang hasil live itu langsung ia tarik ke e-wallet. Setelah dipotong biaya admin, yang tersisa hanya sedikit lebih dari Rp10.000.

Ia berjalan ke warung di ujung gang, membeli sebungkus mi instan dan sebutir telur.

“Kok cuma beli satu, Rina?” tanya pemilik warung, seorang ibu-ibu paruh baya yang sudah lama mengenalnya.

Rina tersenyum tipis. “Lagi diet, Bu.”

Padahal, ia hanya sedang berhemat.

Sesampainya di rumah, ibunya sudah pulang dari kerja mencuci baju di rumah orang. Wajahnya tampak letih.

“Live lagi tadi?” tanya sang ibu sambil duduk di kursi bambu.

“Iya, Bu. Dapat sedikit, tapi cukup buat makan malam,” jawab Rina sambil menuang mi instan ke mangkuk. Ia sengaja membagi dua porsi untuk ibunya.

Ibunya tersenyum, meskipun ada gurat khawatir di wajahnya. “Kamu gak capek, Nak?”

Rina terdiam sejenak. Capek. Ia lelah harus terus tersenyum di depan kamera, berpura-pura bahagia, berharap ada penonton baik hati yang melempar hadiah besar. Tapi, ia tak punya pilihan lain.

Pagi harinya, Rina duduk di teras rumah sambil menggulir layar ponselnya. Ia melihat live streaming seorang TikToker terkenal. Seorang perempuan dengan latar belakang kamar mewah, berbicara santai sambil minum kopi dari gelas mahal.

 

Notifikasi terus bermunculan:

“Seseorang mengirimi Anda Jet Pribadi!”

“Seseorang mengirimi Anda Singa!”

Dalam satu menit, perempuan itu mungkin sudah mendapat jutaan rupiah.

Rina menghela napas. Apa bedanya dia dengan perempuan itu?

Mungkin modal. Perempuan itu punya ring light besar, kamera mahal, dan latar belakang estetik. Sedangkan Rina hanya punya kamar sempit dengan cat tembok mengelupas.

Atau mungkin bedanya adalah penonton.

Ia menutup TikTok dan menatap cermin di kamarnya. “Mungkin aku harus mengubah cara mainku.”

Malam itu, ia memutuskan untuk mencoba sesuatu yang baru. Tidak ada gimmick, tidak ada tarian, tidak ada suara dibuat-buat.

Ketika live dimulai, ia hanya berkata, “Malam, teman-teman. Aku cuma mau cerita.”

Ia bercerita tentang ibunya yang bekerja sebagai buruh cuci, tentang bagaimana ia ingin membantu ekonomi keluarga, tentang mimpinya menjadi TikToker sukses yang benar-benar bisa menghasilkan uang.

Komentar mulai berdatangan:

 

“Kak Rina, aku juga anak buruh cuci, ngerti banget rasanya.”

“Semangat, Kak. Aku suka cara Kakak cerita.”

“Dulu aku juga pengais koin di TikTok. Sekarang udah kerja tetap. Kamu pasti bisa!”

Tiba-tiba, notifikasi muncul.

“Seseorang mengirimi Anda Topi Mahkota!”*

Untuk pertama kalinya, ada yang mengiriminya hadiah lebih dari sekadar mawar atau love.

Ia tersenyum. Mungkin bukan soal koin, tapi tentang mereka yang merasa terhibur.

Malam itu, ia tidur dengan perasaan lebih tenang.

Hari-hari berlalu, dan jumlah penontonnya mulai bertambah. Ada yang datang hanya untuk mendengar ceritanya, ada yang memberikan semangat, dan ada juga yang mulai mengiriminya hadiah virtual.

Namun, realitas tetap menamparnya.

Tagihan listrik belum dibayar, uang sekolah adiknya masih kurang, dan ibunya mulai sakit-sakitan.

Ia mulai mempertimbangkan untuk berhenti dan mencari pekerjaan tetap. Tapi pekerjaan apa? Ia hanya lulusan SMA.

Hingga suatu malam, seseorang mengiriminya pesan pribadi:

“Kak Rina, aku suka live Kakak. Aku kerja di sebuah brand kecil, mau gak Kak Rina jadi brand ambassador produk kami?”

Rina terkejut. Ini pertama kalinya seseorang menawarkan endorsement.

Meskipun bayaran awalnya tidak besar, ini adalah kesempatan. Ini adalah titik awal.

Ia menerima tawaran itu.

Minggu-minggu berikutnya, Rina mulai sering mendapatkan kerja sama kecil. Ia mempromosikan produk sabun cuci, makanan ringan, dan skincare murah.

Hasilnya memang belum bisa mengubah hidupnya sepenuhnya, tapi setidaknya ia bisa membantu ibunya tanpa harus menunggu koin masuk setiap malam.

Suatu malam, ia kembali live seperti biasa.

Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.

Notifikasi muncul:

“Seseorang mengirimi Anda Singa!”

Ia terdiam, tidak percaya. Seseorang baru saja mengiriminya hadiah virtual terbesar yang pernah ia terima.

Di kolom komentar, si pengirim menulis:

 

“Untuk perjuangan Kak Rina. Semoga sukses selalu!”

Rina menahan air mata.

Mungkin, mimpinya tidak mustahil. Mungkin, ini bukan sekadar permainan koin.

Malam itu, ia tersenyum, bukan karena koin yang ia dapatkan, tapi karena ia tahu—ia sudah melangkah lebih dekat ke mimpinya. (**)

*Cerpen ini dibuat dengan bantuan kecerdasan buatan

Ilustrasi: bing.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed