_Oleh: M. Tajir Asyjar Djr_*
Lebaran Topat. Dua kata ini begitu akrab di telinga masyarakat Sasak di Pulau Lombok. Perayaan yang datang satu minggu setelah Idul Fitri ini menjadi momen istimewa—penuh warna, aroma ketupat, ziarah makam, dan keramaian di tempat-tempat wisata religi. Tapi pertanyaannya, *apakah Lebaran Topat merupakan ajaran Islam atau sekadar tradisi lokal?*
Sebagai orang Sasak sekaligus bagian dari organisasi media, saya sering mendapat pertanyaan ini. Bahkan, tak sedikit yang menganggap Lebaran Topat sebagai “bid’ah” karena tak dikenal dalam syariat Islam. Namun jika kita tarik benang merah dari sejarah dan budaya, jawabannya tidak sesederhana itu.
*Jejak Sejarah dan Kearifan Lokal*
Menurut beberapa agamawan/budayawan, seperti almaghfurullah TGH. Faisal (almarhum) dalam diskusinya di Forum Sasak Pencerah, Lebaran Topat adalah bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal Sasak. Dalam tradisi Wetu Telu—ajaran Islam lokal yang berkembang di Lombok bagian utara dan tengah—ibadah puasa tak hanya dilakukan selama Ramadan, tapi juga dilanjutkan dengan puasa enam hari di bulan Syawal.
Puasa ini kemudian ditutup dengan sebuah perayaan. Dan di sinilah muncul istilah “Lebaran Topat”—lebaran untuk mereka yang melanjutkan puasa sunah enam hari. Topat, atau ketupat, menjadi simbol utama dalam perayaan ini, karena menggambarkan syukur, kebersamaan, dan hasil dari perjuangan spiritual.
*Islam dan Tradisi: Bukan Musuh, Tapi Mitra*
Syekh Quraish Shihab pernah mengatakan bahwa selama sebuah tradisi tidak bertentangan dengan nilai-nilai dasar Islam, maka ia bisa menjadi bagian dari kekayaan budaya umat. Maka, Lebaran Topat bukanlah ajaran pokok dalam Islam, tapi ia *bisa menjadi ekspresi keislaman masyarakat Sasak dalam bentuk budaya*.
Ziarah kubur, sedekah makanan, hingga doa bersama di tempat-tempat keramat seperti Batu Layar atau Loang Baloq bukanlah ritual yang melenceng, jika niat dan caranya tetap dalam koridor syariat. Bahkan, dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW bersabda, _“Aku dahulu telah melarang kalian untuk berziarah kubur. Maka sekarang, berziarahlah karena ia dapat mengingatkan kalian kepada akhirat”_.
*Momentum Mempererat Silaturahmi dan Promosi Wisata*
Bagi saya pribadi, Lebaran Topat juga menjadi momen untuk memperkuat silaturahmi antarwarga, lintas desa, bahkan lintas suku. Perayaan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan lokal maupun luar daerah. Pemerintah NTB pun menjadikan Lebaran Topat sebagai agenda tahunan pariwisata.
Namun tentu saja, esensi spiritualnya jangan sampai hilang. Kita perlu membedakan mana yang esensial (ibadah) dan mana yang seremonial (budaya). Jangan sampai Lebaran Topat hanya sekadar “ajang piknik massal” tanpa makna, apalagi disalahgunakan untuk pesta pora.
*Penutup: Jalan Tengah untuk Semua*
_Jadi, apakah Lebaran Topat itu ajaran Islam atau tradisi?_ Jawabannya: *_keduanya_*. _Ia lahir dari rahim Islam, tumbuh dalam pangkuan budaya Sasak_. Ia bukan ibadah wajib, tapi tradisi yang bernilai ibadah jika diniatkan dengan benar.
Sebagai warga Sasak dan Muslim, saya melihat Lebaran Topat sebagai momentum kultural yang memperkaya wajah Islam Indonesia. Bukan Islam Arab, bukan pula *Islam yang kaku, tapi Islam Nusantara yang ramah, membumi, dan sarat makna kebersamaan*.
Selamat Lebaran Topat. *Mangan topat, jaga silaturahmi, rawat tradisi*.
*)_Penulis adalah jurnalis dan Sekretaris Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) NTB_