Lelaki tua tertegun memandangi langit-langit kantor
Pandangannya kosong
Rambutnya tipis memutih, seputih langit-langit yang dipandanginya…
Buku tipis di tangannya dibolak-balik, tanpa dibaca…
Ia sudah tahu isi tulisannya…
Saldo yang tak seberapa…
Waktu seolah berhenti,
Derit kursi kayu yang tua seperti napasnya,
Beriringan dengan denting jam di dinding,
Menghitung detik yang terasa begitu panjang.
Dulu, suara langkahnya memenuhi lorong ini,
Penuh tawa, penuh semangat,
Kini hanya bunyi sepatu lusuh,
Beradu dengan ubin dingin yang sunyi.
Kenangan menyeruak dari lembar-lembar itu,
Bukan angka yang ia lihat,
Tapi wajah-wajah tamu yang datang dan pergi,
Sapaan ramah, cerita yang terjalin…
Dan ketiadaan mereka kini.
“Sudah selesai?” tanya suara muda dari sudut meja,
Lelaki tua hanya mengangguk pelan,
Menyodorkan buku itu dengan tangan gemetar,
Seperti menyerahkan sisa hidup yang ia punya.
Ia berdiri, perlahan,
Bahu yang dulu tegap kini melengkung,
Langkahnya membawa pergi bukan hanya tubuh,
Tapi cerita yang mungkin tak akan kembali.
Di luar kantor, angin sore menyapu wajahnya,
Ia mendongak, menatap langit yang berubah jingga,
Hatinya bergumam pelan,
“Ah, setidaknya aku masih punya senja…” (ai)
Ilustrasi: bing.com