Pansos, Cermin Kehausan Akan Eksistensi di Era Digital

Di era digital ini, status sosial tak lagi hanya ditentukan oleh kekayaan atau jabatan. Kini, angka pengikut, jumlah suka, dan banyaknya sorotan publik menjadi parameter eksistensi baru. Lahir dari dinamika ini, muncullah istilah “pansos”—panjat sosial—sebuah gejala sosial yang kerap dipandang sinis, tapi sejatinya mencerminkan keresahan manusia modern yang merasa kurang dilihat, kurang dihargai, dan kurang dicintai.

Pansos bukan sekadar soal ikut tampil dalam foto orang terkenal, menyebut-nyebut nama tokoh berpengaruh, atau membagikan momen bersama publik figur. Di balik itu semua, ada kebutuhan mendalam akan penerimaan. Ada jiwa-jiwa yang merasa kecil, yang mencoba menunjukkan bahwa mereka juga ada, mereka juga berarti.

Fenomena ini seharusnya tidak hanya kita cibir, tapi juga kita pahami. Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang makin individualistik, banyak orang kehilangan ruang untuk bercerita, untuk didengar. Maka media sosial menjadi pelarian, dan pansos menjadi jembatan—meski rapuh—untuk menyentuh perhatian.

Ironisnya, saat seseorang berusaha mendekat demi eksistensi, dunia justru semakin menjauh. Pansos jadi momok, bukan karena niatnya yang jahat, tetapi karena caranya yang sering kali dipersepsi sebagai kepalsuan. Padahal, bisa jadi mereka hanya sedang berusaha menyembuhkan luka batin yang tak kasat mata: rasa tidak cukup.

Mungkin, yang kita butuhkan bukan lebih banyak eksistensi, tapi lebih banyak empati. Daripada mencemooh mereka yang dianggap pansos, alangkah indah jika kita belajar saling menyapa lebih dulu, saling menguatkan tanpa syarat, dan memberi ruang bagi semua orang untuk merasa cukup, tanpa perlu memanjat sosial.

Karena pada akhirnya, setiap manusia hanya ingin satu hal yang sama: merasa berharga. (ai)

Ilustrasi foto: internet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *