JAKARTA (LE)— Forum Tanah Air (FTA), yang terdiri dari tokoh masyarakat, akademisi, peneliti, dan diaspora Indonesia di 22 negara serta perwakilan dari 38 provinsi, menyampaikan keprihatinan dan kritik tajam terhadap pembentukan Komite Reformasi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) yang diumumkan Presiden RI.
Dalam pernyataan sikap yang disampaikan pada 11 November 2025, FTA menyoroti sejumlah kejanggalan dan potensi konflik kepentingan dalam struktur Komite Reformasi Kepolisian. Forum menegaskan bahwa reformasi Polri haruslah mengutamakan prinsip demokrasi dan akuntabilitas, bukan hanya sekadar perubahan administratif.
Penolakan dominasi jenderal aktif dan purnawirawan menjadi sorotan utama FTA. Kehadiran lima jenderal dalam komite dinilai berpotensi menimbulkan konflik kepentingan dan menghambat reformasi sejati, mengingat pengalaman reformasi kepolisian di negara-negara seperti Korea Selatan yang sukses melibatkan akademisi dan aktivis, bukan aparat kepolisian sendiri.
Forum juga menyoroti pengecualian tiga jenderal—Tito Karnavian, Idham Azis, dan Listyo Sigit Prabowo—yang dianggap mewakili kontinuitas kepemimpinan Polri selama dekade terakhir, masa di mana politisasi dan krisis kepercayaan publik semakin meningkat. Penelitian menunjukkan bahwa reformasi yang digerakkan oleh lingkaran lama cenderung gagal menumbangkan praktik lama.
Selain itu, FTA menuntut keterlibatan ilmuwan politik, ahli tata negara, unsur Tentara Nasional Indonesia (TNI), serta tokoh agama dan masyarakat sipil dalam komite reformasi. Keterlibatan beragam pihak ini dinilai krusial untuk memastikan reformasi Polri memiliki legitimasi sosial dan etika, memperkuat pengendalian sipil, serta mencegah tumpang tindih kewenangan dengan TNI.
Forum juga menggarisbawahi pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam proses deliberasi komite agar publik dapat mengakses dan mengawasi setiap langkah reformasi. Studi internasional menunjukkan bahwa keterbukaan mempercepat kepercayaan publik dan keberhasilan reformasi kepolisian.
Dalam ranah struktural dan fungsional, FTA mengusulkan posisi Polri sebaiknya berada di bawah badan independen atau kementerian dalam negeri untuk menghindari politisasi. Desentralisasi fungsional dan reformasi kepangkatan yang lebih profesional juga dianggap penting untuk meningkatkan hubungan polisi dengan masyarakat serta memperkuat meritokrasi.
Forum meminta agar fungsi penanganan terorisme, narkoba, dan korupsi dialihkan ke lembaga independen guna mencegah penyalahgunaan kewenangan.
Penutup pernyataan FTA menegaskan bahwa reformasi kepolisian adalah bagian integral dari reformasi demokrasi yang lebih luas. Polri yang profesional, transparan, dan akuntabel akan menjadi fondasi kuat bagi demokrasi substansial di Indonesia.
Pernyataan lengkap dan daftar referensi akademis yang mendasari tuntutan FTA telah disampaikan kepada Ketua Komisi Reformasi Polri, para pemimpin lembaga negara, organisasi kemasyarakatan, dan media nasional. (red/*)






