MATARAM (LOMBOKEXPEESS.ID) – Sidang kasus dugaan kejahatan seksual dengan terdakwa penyandang disabilitas I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (10/2).
Agenda sidang kali ini menghadirkan Pakar Psikologi Forensik Reza Indragiri Amriel sebagai ahli yang diminta memberikan pendapat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Reza menegaskan bahwa kehadirannya dalam persidangan bukan sebagai saksi, melainkan sebagai ahli yang memberikan perspektif ilmiah dari sudut pandang psikologi forensik.
“Saya hadir sebagai ahli, bukan untuk membela pihak tertentu, tetapi untuk memberikan perspektif ilmiah yang bermanfaat bagi proses hukum,” ujarnya setelah keluar dari ruang sidang utama PN Mataram.
Dua Kesalahan Fatal dalam Kasus Ini
Dalam kesaksiannya, Reza mengungkapkan bahwa terdapat dua kesalahan utama yang dilakukan dalam penanganan kasus ini:
1. Penggunaan Istilah “Disabilitas” yang Tidak Tepat
Reza menekankan bahwa istilah disabilitas dalam Undang-Undang sudah tidak relevan karena memiliki makna negatif, seperti ketidakmampuan, kelemahan, dan ketergantungan pada orang lain. Sebagai gantinya, ia menyarankan penggunaan istilah “difabelitas”, yang lebih menekankan pada kemampuan berbeda atau different ability.
“Orang dengan difabelitas tetap bisa melakukan berbagai hal, termasuk tindak kejahatan, tetapi dengan cara yang berbeda. Karena itu, istilah ini lebih tepat digunakan,” jelasnya.
2. Kesalahan dalam Penentuan Delik Hukum
Reza juga mengkritisi penggunaan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dalam kasus ini. Menurutnya, tidak semua kejahatan seksual melibatkan kekerasan, sehingga lebih tepat jika UU TPKS direvisi menjadi “UU Tindak Pidana Kejahatan Seksual”.
“Ada kejahatan seksual yang dilakukan tanpa kekerasan, tetapi hukum saat ini seolah-olah hanya mengakomodasi yang melibatkan kekerasan. Ini perlu direvisi agar mencakup semua bentuk kejahatan seksual,” tegasnya.
Ahli: Kondisi Difabelitas Bisa Jadi Faktor Pemberat Hukuman
Reza juga menyoroti pandangan masyarakat yang sering salah kaprah dengan menganggap bahwa penyandang difabelitas tidak mungkin melakukan tindak kejahatan. Padahal, mereka tetap memiliki kemampuan untuk melakukan berbagai tindakan, termasuk kejahatan, dengan cara yang berbeda.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem hukum, kondisi kecacatan memang bisa menjadi faktor yang meringankan hukuman. Namun, jika kondisi tersebut justru digunakan sebagai instrumen kejahatan, maka bisa menjadi faktor pemberat hukuman.
“Sayangnya, aspek ini tidak diangkat dalam persidangan. Namun, silakan tafsirkan sendiri,” imbuhnya.
Penasehat Hukum Agus Buntung Skeptis terhadap Keterangan Ahli
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Donny A. Sheyoputra, mengaku skeptis terhadap hasil Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang disusun berdasarkan pendapat ahli. Ia menilai hasil tersebut sangat menyudutkan kliennya.
“Kami sempat meragukan isi BAP, tetapi dalam persidangan, ahli tidak menyatakan bahwa Agus benar atau salah. Ia hanya menjelaskan apakah ada aspek kesepakatan dalam dugaan kejahatan ini,” ujar Donny.
Ia juga menambahkan bahwa pihaknya hanya mengajukan pertanyaan dari sudut pandang ilmiah dan tidak memperdebatkan hasil BAP.
Selama persidangan, Agus Buntung tidak memberikan tanggapan apa pun terkait pendapat ahli. Menurut Donny, hal ini disebabkan latar belakang pendidikan kliennya yang rendah, sehingga tidak memahami istilah-istilah psikologi yang disampaikan dalam persidangan.
“Agus tidak menanggapi apa pun karena dia kesulitan memahami penjelasan yang diberikan,” pungkasnya. (can)
Keterangan Foto:
Terdakwa penyandang disabilitas I Wayan Agus Suartama alias Agus Buntung kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Mataram, Senin (10/2). (susan/ntbnow.co)