HPN 2025: Ke Mana Kita Pergi? 

PERTANYAAN ini menggelayuti pikiran banyak wartawan, baik di daerah maupun di pusat. HPN 2025 bukan sekadar perayaan Hari Pers Nasional seperti tahun-tahun sebelumnya. Tahun ini, HPN terbagi dua. Ada yang di Riau, ada juga yang di Kalimantan Selatan.

Anehnya, kedua perayaan ini sama-sama mengklaim paling sah.

 

Fenomena ini bukan sekadar perbedaan lokasi, tetapi mencerminkan sesuatu yang lebih besar: dualisme kepemimpinan di tubuh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Dua kubu kini berdiri berseberangan. Di satu sisi ada Zulmansyah Sekedang, Ketua Umum PWI hasil KLB, yang menyelenggarakan HPN di Riau. Sementara di sisi lain, ada Hendry Ch Bangun, Ketua Umum PWI hasil Kongres Bandung, yang menggelar HPN di Kalimantan Selatan.

Dua kepemimpinan. Dua agenda. Dua perayaan HPN.

Lalu, siapa yang benar? Dan ke mana wartawan harus pergi?

Sejarah mencatat, PWI adalah organisasi wartawan tertua di Indonesia, berdiri sejak 1946. Sejak awal, PWI menjadi wadah utama insan pers dalam memperjuangkan kebebasan dan profesionalisme jurnalistik di Indonesia. Namun, dalam perjalanannya, organisasi ini tidak luput dari dinamika internal.

Konflik terbaru mencuat sejak Kongres KLB PWI 2023. Kongres Luar Biasa PWI melahirkan kepemimpinan Zulmansyah Sekedang, sementara Kongres Bandung melahirkan Hendry Ch Bangun. Keduanya mengklaim sebagai kepemimpinan yang sah, dan keduanya memiliki pendukung masing-masing.

Akibatnya, ketika tiba saatnya merayakan HPN 2025, muncul dua versi perayaan di dua lokasi berbeda.

– HPN di Riau – Dipimpin oleh PWI versi Zulmansyah Sekedang, dengan agenda utama berupa seminar nasional, sarasehan media, dan pertemuan pemimpin redaksi.

– HPN di Kalimantan Selatan – Digagas oleh PWI versi Hendry Ch Bangun, dengan fokus pada kegiatan sosial seperti bakti kesehatan, edukasi jurnalistik, dan program penghijauan.

Dua lokasi ini mencerminkan dua pendekatan yang berbeda dalam merayakan HPN. Namun, di balik perbedaan ini, ada satu persoalan mendasar: apakah dualisme ini akan membawa pers Indonesia ke arah yang lebih baik, atau justru memperlemah solidaritas insan pers?

Bagi banyak wartawan, HPN adalah momentum refleksi tentang peran dan masa depan pers Indonesia. HPN bukan hanya tentang seremoni, tetapi juga tentang bagaimana pers menghadapi tantangan zaman, menjaga independensi, dan tetap relevan di era digital.

Namun, dengan adanya dua perayaan ini, makna HPN terasa terpecah. Bukankah seharusnya HPN menjadi ajang pemersatu insan pers?

Sebagian wartawan memilih menghadiri HPN di Riau. Sebagian lagi berangkat ke Kalimantan Selatan. Ada pula yang memilih tidak datang ke mana pun, menunggu situasi menjadi lebih jelas.

Namun, pertanyaan besarnya bukan lagi “HPN di mana?” melainkan “Mau dibawa ke mana pers Indonesia?”

Menjaga Independensi di Tengah Perpecahan

Di tengah dualisme ini, wartawan dihadapkan pada dilema: haruskah mereka berpihak pada salah satu kubu, atau tetap berdiri netral?

Bagaimanapun, wartawan adalah pilar keempat demokrasi. Pers seharusnya menjadi garda terdepan dalam menyuarakan kebenaran, bukan justru terpecah karena kepentingan kelompok.

Ke depan, tantangan pers Indonesia tidak hanya sebatas konflik internal di tubuh PWI. Era digital, disrupsi media, hoaks, dan tekanan politik adalah ujian nyata yang harus dihadapi bersama.

Jika insan pers tidak bisa bersatu dalam rumahnya sendiri, bagaimana mereka bisa memperjuangkan kepentingan publik dengan maksimal?

Maka, alih-alih hanya bertanya “HPN di mana?”, seharusnya kita semua bertanya “Apa yang bisa kita lakukan untuk menjaga integritas pers dan memperkuat perannya dalam membangun bangsa?”

Sebab, pers yang kuat bukanlah pers yang terpecah, tetapi pers yang mampu bersatu dalam keberagaman untuk tujuan yang lebih besar. (has/ai)

Ilustrasi bing.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *