Penulis: Nurul Ramdani*
Di ujung timur Pulau Sumbawa, tepatnya di Desa Soro, Kecamatan Lambu, Kabupaten Bima, ada satu tempat yang seperti keluar dari cerita dongeng. Namanya Pantai Lariti. Warga setempat sering menyebutnya sebagai pantai yang terbelah — dan bukan tanpa alasan.
Bayangkan, saat laut surut, muncul jalur pasir putih memanjang dari daratan utama menuju sebuah pulau kecil di seberang sana. Jalur ini benar-benar seperti jembatan alami, membelah laut menjadi dua sisi biru yang berkilau diterpa matahari. Fenomena ini dalam istilah ilmiah disebut tombolo, tapi bagi para pengunjung, ini adalah keajaiban yang membuat siapa pun melihatnya.
Begitu air laut surut sempurna, jalur pasir itu muncul perlahan, seolah ditarik keluar dari dasar laut. Saat itulah, para wisatawan mulai melangkah hati-hati ke atas. Angin laut berhembus lembut, ombak kecil mengusap kaki, dan suara desiran udara dari kanan kiri menemani perjalanan pendek menuju pulau kecil di ujung sana. Ada sensasi aneh tapi damai — seolah sedang berjalan di antara dua dunia, daratan dan lautan.
Pulau kecil itu dikenal sebagai Pulau Kelapa, kadang juga disebut Pulau Lariti. Dari sana, panorama 360 derajat terbuka lebar. Di kejauhan, daratan Bima tampak hijau dan berbukit, sementara laut biru di sekelilingnya seolah tak berujung. Dari titik ini, siapa pun bisa melihat betapa menakjubkannya “pantai terbelah” itu — sebuah karya seni alam yang terus berubah mengikuti irama pasang surut.
Namun, keindahan ini tak bertahan lama. Begitu air pasang mulai naik, jembatan pasir itu pelan-pelan menghilang. Garis putihnya tertelan ombak, dan jalur yang tadi bisa dilalui pun hilang tanpa jejak. Itulah sebabnya, jika ingin menyaksikan keajaiban ini, waktu menjadi segalanya. Wisatawan harus pandai menyesuaikan kunjungannya dengan jadwal pasang surut laut agar tidak pulang dengan kecewa.
Pantai Lariti bukan sekadar destinasi wisata; ia adalah pelajaran alam tentang keseimbangan dan perubahan. Tentang bagaimana pasir, ombak, dan waktu bisa bersatu menciptakan keindahan yang tak bisa ditiru manusia. Setiap kunjungan ke sana seakan menjadi pengingat, alam punya cara sendiri untuk membuat kita takjub — bahkan hanya lewat sehampar jembatan pasir yang muncul dan menghilang bersama waktu. (*)
*Mahasiswa Pariwisata Syariah, UIN Mataram.