Oleh Zulfikar Tanjung*
Ada kesan yang tidak bisa dihindari ketika menyaksikan pertemuan antara Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sumatera Utara, Farianda Putra Sinik SE, dengan Kepala Bidang Humas Polda Sumut, Kombes Pol Dr Ferry Walintukan, pada Jumat, 23 Mei 2025.
Suasana hangat di kantor PWI Sumut, Jl Adinegoro Medan, tak hanya menandai jalinan silaturahmi formal antarlembaga. Lebih dari itu, pertemuan ini menjadi potret kecil bagaimana seorang pemimpin muda pers dapat menghadirkan suasana nyaman, penuh kepercayaan, sekaligus memperlihatkan arah baru kepemimpinan jurnalistik yang mengedepankan etika, martabat, dan kemitraan konstruktif.
Dalam dialog terbuka yang tercipta siang itu, Farianda dengan lugas menegaskan bahwa PWI Sumut berada di barisan depan dalam mendidik wartawan beretika, yang mampu menyajikan berita edukatif dan berkualitas. Kalimatnya tidak meledak-ledak, namun penuh daya gugah: “Kami senantiasa membimbing wartawan untuk menjadikan etika sebagai fondasi utama dalam setiap peliputan.” Sebuah pernyataan sederhana, namun mengandung energi moral yang dalam, terlebih di era banjir informasi dan distraksi digital yang kian tak terbendung.
Etika bukan sekadar aturan profesi bagi Farianda. Ia menjadikannya sebagai roh dari kerja-kerja jurnalistik. Sikap ini mengingatkan kita bahwa wartawan sejati bukan hanya pencari informasi, melainkan penjaga nilai dalam kehidupan publik.
Pemimpin Pers yang Meneduhkan
Farianda bukan sekadar Ketua PWI. Ia tampil sebagai figur yang mampu menghadirkan kesejukan di ruang-ruang yang kerap panas oleh kepentingan dan sorotan media. Dengan pendekatan dialogis dan kolaboratif, ia menawarkan model kepemimpinan yang inklusif, tanpa kehilangan prinsip.
Saat mengusulkan kerjasama pelatihan bersama Polda Sumut, seperti Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dan pelatihan jurnalistik di lingkungan kepolisian, Farianda bukan sedang menjual citra, tapi membangun jembatan: antara profesi wartawan dan aparat negara, antara idealisme dan kebutuhan praktis, antara kebebasan dan tanggung jawab. Inilah bentuk kecerdasan kepemimpinan yang jarang, dan karenanya patut diapresiasi.
Kabid Humas Polda Sumut Kombes Ferry Walintukan pun tampak nyaman. Ia bahkan menyampaikan apresiasi atas wartawan yang menjunjung etika serta berharap kemitraan ini semakin erat. “Saya selalu angkat telepon dari wartawan, siapa pun. Kita butuh saling menghargai dan saling memahami,” ujarnya. Ungkapan ini menjadi bukti bahwa relasi yang dibangun PWI Sumut hari ini bukan relasi penuh kecurigaan, melainkan kepercayaan.
Mengangkat Harkat Wartawan
Ketika wartawan menjalankan profesinya secara beretika, sesungguhnya mereka tidak hanya menjaga martabat sendiri, tetapi juga memberikan kenyamanan bagi para narasumber. Hal inilah yang tercermin dalam sikap Farianda. Ia menyadari bahwa wartawan yang kompeten dan beradab akan lebih didengar, lebih dipercaya, dan lebih dihormati. Dalam relasinya dengan institusi seperti Polda Sumut, hal itu menjadi sangat strategis: menjaga kredibilitas informasi sekaligus membangun opini publik yang sehat.
Tidak berlebihan jika kita menyebut Farianda sebagai representasi generasi baru pers Indonesia, yang tidak larut dalam glorifikasi konflik dan kontroversi, tetapi justru membangun iklim kerja sama yang produktif antara media dan lembaga negara. Sosoknya menjadi simbol bahwa pers yang kuat bukanlah pers yang liar, melainkan yang bertanggung jawab dan berakar pada nilai-nilai luhur.
Pesan Tokoh Muda
Di tengah derasnya arus berita yang cepat tapi dangkal, suara Farianda menjadi penting: bahwa wartawan tak boleh lupa pada etika. Bahwa kecepatan tak boleh mengorbankan akurasi. Bahwa kebebasan tak berarti tanpa tanggung jawab. Ia memimpin PWI Sumut bukan hanya sebagai organisatoris, tetapi sebagai pendidik nilai.
Dan dari pertemuan hangat itu, kita belajar satu hal: bahwa ketika pers dipimpin oleh orang yang tepat, maka negara dan masyarakat akan mendapat manfaat yang besar. Karena pada akhirnya, wartawan bukan sekadar pencatat sejarah — mereka adalah pengarah peradaban.
* Penulis Penasihat PWI Sumut