JAKARTA (NTBNOW.CO)–Konflik antara Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia dan Direktur Utama PT Perusahaan Gas Negara (PGN) Arief Setiawan Handoko terkait pengelolaan gas bumi di Indonesia menjadi sorotan. Dr. Kurtubi, pengamat energi dan migas, menilai konflik ini sebagai bukti nyata kelemahan implementasi Undang-Undang Migas Nomor 22 Tahun 2001 yang merugikan negara.
Kurtubi menyoroti penurunan produksi migas selama lebih dari dua dekade, diiringi pembatalan sejumlah pasal UU Migas oleh Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, UU yang sudah terbukti buruk ini tetap berlaku, sehingga perlu dilakukan revisi menyeluruh. Ia juga mengkritik pengelolaan sumber daya alam (SDA) sektor pertambangan minerba yang dianggap tidak sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945.
Sebagai solusi, Kurtubi mengusulkan penerapan sistem Production Sharing Contract (PSC) atau kontrak bagi hasil murni berbasis bisnis-ke-bisnis (B to B). Skema ini, menurutnya, akan menjamin porsi keuntungan yang lebih besar untuk negara, idealnya 65% untuk negara dan 35% untuk investor setelah cost recovery. Pada saat harga migas dan minerba tinggi, porsi negara bisa dinaikkan menjadi 85%.
Ia juga menyarankan penghapusan sistem konsesi, baik Izin Usaha Pertambangan (IUP) maupun kontrak pemerintah-investor (B to G). Pemerintah, kata Kurtubi, cukup menunjuk badan usaha profesional untuk mengelola pertambangan, tanpa intervensi birokrasi langsung. Lebih lanjut, ia mendesak agar devisa hasil ekspor SDA diwajibkan masuk ke sistem keuangan nasional.
Sebagai kesimpulan, Kurtubi merekomendasikan pencabutan UU Migas No. 22 Tahun 2001, UU Minerba No. 4 Tahun 2009, dan UU Minerba No. 3 Tahun 2020. Konflik antara Menteri ESDM dan Dirut PGN, menurutnya, merupakan gejala permukaan dari masalah struktural yang lebih besar dalam pengelolaan SDA di Indonesia. Perlu adanya reformasi menyeluruh untuk memastikan pengelolaan SDA yang lebih adil dan menguntungkan negara. (red)
Keterangan Foto:
Pengamat Energi dan Migas, Dr. Kurtubi. (ist)