Negeri di Atas Awan, Hadiah di Puncak Nanggi

Penulis: Maulalwafa Averurrozi Anis Rahmatullah*

KALAU kamu pernah ke Sembalun, kamu pasti tahu — Gunung Rinjani adalah bintang utamanya. Ia menjulang gagah di antara kabut, seperti raja di singgasana awan. Tapi tahukah kamu, di sekelilingnya berdiri para pengiring setia? Bukit-bukit yang tidak kalah menawan, saling berlomba menawarkan sudut pandang terbaik untuk menatap sang raksasa.

Salah satu di antara mereka bernama Bukit Nanggi — yang paling tinggi, paling menantang, dan mungkin juga paling pendiam. Letaknya di Desa Sembalun Bumbung, Lombok Timur. Dengan ketinggian sekitar 2.030 meter di atas permukaan laut, orang-orang sering menyebutnya “Negeri di Atas Awan.” Julukan itu bukan sekedar pujian; Di pagi hari, puncaknya sering benar-benar berada di atas hamparan kabut putih yang menutupi lembah Sembalun.

Daya tarik Nanggi bukan hanya karena tinggi atau jalurnya yang menantang. Tapi karena dari puncaknya, kamu bisa melihat panorama 360 derajat yang luar biasa: Gunung Rinjani berdiri megah di satu sisi, hamparan lembah hijau di sisi lain, dan kalau langit bersih, kamu bahkan bisa melihat Selat Alas, Pulau Sumbawa, hingga bayangan Gunung Tambora dari jarak jauh. Saat senja dan fajar, langit di sini berubah menjadi kanvas berwarna emas dan ungu — hadiah yang membuat lelah pendakian seolah hilang begitu saja.

Perjalanan ke puncak dimulai dari Desa Sembalun Bumbung. Biasanya membutuhkan waktu 4 sampai 6 jam untuk sampai ke atas. Jalurnya tidak main-main — tanjakan demi tanjakan dengan kemiringan yang bisa membuat lutut bergetar. Oleh karena itu, Nanggi bukan tempat yang ideal bagi pendaki pemula, tapi justru menjadi ajang latihan bagi mereka yang sedang bersiap menaklukkan Rinjani.

Begitu melewati titik awal, jalur akan membawamu melewati hutan bambu yang rimbun. Suasana di sini sejuk dan agak mirip, tapi tidak lama — karena tak lama kemudian jalan setapak mulai menanjak curam dan berbatu. Ada dua pos peristirahatan di sepanjang jalur: Pos 1 dan Pos 2. Di dalamnya pendaki biasanya berhenti sejenak, meneguk udara, mengatur napas, dan menyiapkan tenaga untuk tahap akhir yang lebih berat.

Selepas Pos 2, vegetasi mulai berubah. Pohon-pohon perlahan-lahan menipis, digantikan oleh sabana luas dengan rumput basah yang bergoyang tertiup angin. Jalannya terbuka, tanjakannya semakin curam, dan pemandangan di bawah mulai tampak menakjubkan — seperti hadiah kecil sebelum sampai di puncak.

Dan akhirnya, setelah berjam-jam mendaki, muncullah puncak Bukit Nanggi: datar, lapang, dan luas. Dari sini, pandanganmu tak lagi terhalang apa pun. Udara dingin menggigit, tapi pemandangannya menghangatkan hati. Banyak pendaki memilih berkemah di atas sini, menunggu dua momen paling ditunggu: matahari terbenam dan matahari terbit.

Malam di Nanggi bisa sangat dingin — jaket tebal, kantong tidur, dan secangkir minuman panas menjadi penyelamat. Tapi bila langit cerah, kamu akan disambut gugusan bintang yang bertaburan. Tidak ada polusi cahaya, hanya kesunyian dan alam semesta yang seolah mendekat.

Menjelang fajar, puncak Nanggi berubah menjadi teater alam. Dari balik punggungan Rinjani, matahari terbit perlahan, dan di bawah sana, lautan awan terbentang sejauh mata memandang. Rasanya seperti berdiri di ambang dunia — di atas langit, di bawah awan, di tengah kenyamanan yang sempurna.

Banyak yang membandingkan Nanggi dengan Bukit Pergasingan, tetangganya yang lebih populer. Tapi keduanya berbeda. Pergasingan lebih ramah bagi pemula dan lebih ramai pengunjung, sedangkan Nanggi lebih tinggi, lebih menantang, dan menawarkan kesunyian yang lebih dalam. Jika Pergasingan adalah gerbang, maka Nanggi adalah puncak ujian bagi mereka yang ingin naik level sebelum mendaki Rinjani.

Untuk ke sini, aksesnya cukup mudah. Dari Kota Mataram, kamu bisa menempuh perjalanan sekitar 2,5 hingga 4 jam menuju Desa Sembalun Bumbung. Di sana sudah tersedia area parkir dan loket dengan tiket masuk sekitar Rp10.000 per orang. Murah, jika dibandingkan dengan pengalaman luar biasa yang akan kamu dapatkan.

Pendakian ke Bukit Nanggi bukan sekadar perjalanan fisik — ini adalah perjalanan batin. Setiap langkah di tanjakan seolah menguji kesabaran, setiap hembusan napas membawa kita lebih dekat pada makna ketenangan. Dan ketika akhirnya kamu berdiri di puncak, menatap Rinjani dari jarak yang nyaris sejajar, kamu akan sadar. Sebenarnya yang kamu taklukkan bukan hanya bukitnya. Tapi juga dirimu sendiri. 

* Mahasiswa Pariwisata Syariah (S1), UIN Mataram

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed