Oleh: Syukur
NIM: 240402025
Pascasarjana UIN Mataram
Email: [email protected]
TALAQ atau perceraian adalah realitas dalam kehidupan rumah tangga yang telah mendapat legitimasi dalam ajaran Islam. Dalam konteks teologis, talaq dibolehkan tetapi sangat tidak dianjurkan. Hadis Nabi menyatakan bahwa talaq adalah perbuatan halal yang paling dibenci Allah.
Pernyataan ini menunjukkan adanya ambivalensi dalam ajaran Islam. Talaq dibolehkan secara hukum, namun sangat tidak diinginkan dari sisi etika. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Islam memberi ruang pada perceraian sebagai solusi terakhir, bukan sebagai jalan pertama dalam menyelesaikan konflik rumah tangga.
Namun, dalam praktiknya, talaq sering kali menimbulkan persoalan serius, terutama ketika digunakan secara sembarangan tanpa proses keadilan dan tanpa keterlibatan institusi hukum negara. Dalam banyak kasus, talaq dijatuhkan secara sepihak oleh suami tanpa memperhitungkan nasib istri dan anak-anak. Ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana posisi perempuan dalam sistem yang memberikan hak eksklusif talaq kepada suami? Dan sejauh mana hukum Islam bisa menjawab tuntutan keadilan dalam masyarakat modern?
Secara fikih, hampir semua mazhab memberikan hak prerogatif talaq kepada suami. Pandangan ini terbentuk dalam konteks sosial patriarkal abad pertengahan, ketika otoritas rumah tangga sepenuhnya berada di tangan laki-laki. Ketika dunia berubah dan nilai-nilai kesetaraan semakin mendapat tempat, maka narasi tunggal ini pun mulai dipertanyakan.
Beberapa negara Muslim telah merespons tantangan ini dengan mereformasi sistem hukum pernikahan. Tunisia dan Maroko, misalnya, mensyaratkan bahwa talaq hanya sah bila diputuskan oleh pengadilan, demi perlindungan hukum terhadap perempuan.
Salah satu problem pelik dalam praktik talaq adalah fenomena talak tiga sekaligus. Dalam emosi, sebagian suami menjatuhkan tiga talak dalam satu waktu, yang dalam pandangan mayoritas ulama klasik berarti berakhirnya hubungan secara total dan permanen.
Praktik ini kemudian melahirkan nikah tahlil sebagai jalan agar mantan suami bisa kembali menikahi istrinya, meski praktik tersebut secara moral sangat problematis. Di sinilah muncul pandangan alternatif dari ulama seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim, yang berpendapat bahwa talak tiga sekaligus hanya dihitung sebagai satu talak. Pandangan ini telah diterima di banyak negara seperti Mesir dan Arab Saudi, yang mulai mengedepankan pendekatan rasional dan proporsional dalam urusan talaq.
Era digital menghadirkan dilema baru. Talak kini bisa disampaikan melalui pesan teks, WhatsApp, SMS, bahkan video TikTok. Sebagian ulama kontemporer menganggap sah bila memenuhi unsur niat dan kejelasan lafal. Namun muncul persoalan lain. Apakah keabsahan formal cukup untuk menjamin keadilan substantif? Bagaimana dengan nasib perempuan dan anak-anak yang menjadi korban talaq digital?
Inilah pentingnya menghadirkan etika dalam hukum Islam. Hukum tidak cukup hanya sah secara formal, tetapi harus adil secara substansial.
Di Indonesia, perceraian telah diatur secara tegas dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Perceraian hanya sah jika diputuskan oleh pengadilan. Namun, dalam kenyataan sosial, banyak kasus talaq dilakukan di luar pengadilan.
Perempuan diceraikan begitu saja tanpa melalui proses hukum, tanpa saksi, dan tanpa kejelasan status hukum. Ini menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum agama dan hukum negara, serta lemahnya sistem perlindungan terhadap kelompok rentan dalam rumah tangga.
Jika praktik talaq terus dilakukan tanpa pembaruan, maka hukum Islam berisiko menjadi alat kekuasaan patriarki. Oleh karena itu, dibutuhkan fikih keluarga yang progresif dan kontekstual. Tafsir keagamaan harus diperluas agar tidak bersifat tekstual semata. Negara harus hadir sebagai penjamin keadilan, bukan sekadar pengesah formal. Ulama dan akademisi Islam juga memiliki peran penting untuk mendorong ijtihad sosial yang berpihak pada keadilan dan kemanusiaan.
Talaq adalah isu multidimensi. Ia tidak hanya menyangkut hukum agama, tetapi juga relasi kuasa, struktur sosial, dan sistem hukum negara. Dalam menghadapi problematika talaq, umat Islam tidak cukup hanya merujuk pada kitab klasik, tetapi juga harus membuka diri terhadap kenyataan zaman. Tafsir atas teks harus dipadukan dengan sensitivitas terhadap konteks. Dengan cara inilah hukum Islam dapat menjalankan fungsi utamanya: menghadirkan keadilan, melindungi kelompok lemah, dan membangun tatanan masyarakat yang lebih beradab. (*)
Ilustrasi foto: internet