Pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa Butuh Bapak Asuh

Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa kembali mengemuka. Meski telah menjadi aspirasi masyarakat selama dua dekade terakhir, hingga kini belum ada tanda-tanda realisasi konkret dari pemerintah pusat.

Minimnya dukungan politik di tingkat nasional dan belum munculnya tokoh kuat sebagai lokomotif perjuangan menjadi salah satu kendala utama. Padahal, secara geografis dan sumber daya, Pulau Sumbawa dinilai sudah sangat layak berdiri sendiri sebagai provinsi baru.

Upaya pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa pernah menjadi topik hangat dalam berbagai forum. Namun semangat itu meredup karena belum ada figur sentral yang konsisten membawa aspirasi ini ke lingkar kekuasaan pusat.

“Pulau Sumbawa butuh bapak asuh, tokoh nasional yang bisa menjembatani perjuangan ini sampai ke meja Presiden,” ujar salah satu anggota DPRD NTB, Aminurlah kepada sejumlah media.

Jika berkaca pada daerah lain yang sukses melakukan pemekaran, seperti Kalimantan Utara dan Sulawesi Barat, ada tokoh kuat di balik layar yang menjadi penggerak utama. Sayangnya, Pulau Sumbawa belum memiliki figur seperti itu saat ini.

Lima daerah yang mencakup Pulau Sumbawa — Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima — memiliki potensi sumber daya alam melimpah, posisi strategis, dan jumlah penduduk yang memadai untuk menjadi provinsi tersendiri.

Namun potensi tersebut belum tergarap secara maksimal karena akses kebijakan masih terpusat di Mataram, ibu kota Provinsi NTB yang berada di Pulau Lombok.

Kesempatan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik, mempercepat pembangunan infrastruktur, dan memajukan pendidikan serta kesehatan menjadi alasan mendasar mengapa pemekaran provinsi sangat dibutuhkan.

Kendala besar lainnya adalah kebijakan moratorium pemekaran daerah otonomi baru yang masih diberlakukan pemerintah pusat. Tanpa dukungan dari elite nasional, perjuangan di tingkat lokal sulit menembus kebijakan nasional.

Diperlukan konsolidasi seluruh elemen masyarakat di Pulau Sumbawa — kepala daerah, tokoh adat, tokoh masyarakat, akademisi, hingga diaspora — untuk kembali menguatkan gerakan ini secara sistematis dan terarah.

Langkah selanjutnya adalah menemukan dan mendorong satu atau dua tokoh nasional asal Sumbawa untuk tampil sebagai juru bicara perjuangan ini. Figur seperti inilah yang disebut sebagai “bapak asuh”, yaitu sosok yang punya akses ke pembuat kebijakan tertinggi di republik ini.

Masyarakat di Pulau Sumbawa berharap perjuangan ini tidak hanya menjadi wacana tahunan menjelang pemilu. Perlu ada keseriusan dan keberanian politik agar suara rakyat mendapat ruang di tingkat pusat.

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Jika tidak ada yang mengambil peran, maka wacana ini hanya akan menjadi mimpi kolektif yang terus berulang tanpa ujung.

Kita berharap para pemangku kepentingan, baik di daerah maupun pusat, untuk memberi perhatian lebih terhadap aspirasi masyarakat Pulau Sumbawa. Demi keadilan dan pemerataan pembangunan di Nusa Tenggara Barat. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed