TEKTOK PERGASINGAN

Oleh: FATHUL RAKHMAN

Setelah 10 tahun, saya kembali mendaki Bukit Pergasingan. Sudah jarang olahraga berat, usia bertambah, berat badan naik. Semangat bersama para sahabat yang memungkinkan saya bisa mendaki tektok (naik dan turun pada hari yang sama). Malu juga kalau harus menyerah.

 

***

Pertama kali mendaki Pergasingan tahun 2015. Beruntung catatan pendakian tahun itu masih tersimpan rapi di hardisk eksternal saya. Begitu juga foto-foto yang saat itu diabadikan oleh adik saya, Adul Hayyi Muslim. Pendakian ke Pergasingan itu adalah travelling pertama kali bersama adik kandung. Pada 2025 saya mendaki bersama adik bungsu Husna Ardiana. Ini juga pendakian bareng pertama bersama adik saya, yang sebenarnya lebih sering mendaki ketimbang saya. Ya malu juga kalau menyerah di perjalanan di hadapan adik sendiri..

Pilihan pendakian kami adalah tektok, istilah populer mendaki dan turun pada saat yang sama. Awalnya saya merencanakan ingin ke Gedong. Saya menghubungi Suyud Saputra Bakti, teman relawan di Kelas Inspirasi Lombok. Dia sering mendaki bukit-bukit yang masuk dalam Sembalun 7 Summits. Saya meminta pertimbangannya.

Karena awal tahun masih sering hujan, Bakti menyarankan ke Pergasingan saja. Pada kondisi sering hujan, Gedong sering kabut. Tidak ada pemandangan yang bisa dinikmati. Sementara Pergasingan, masih bisa melihat sawah, walaupun kadang turun kabut. Pilihan lainnya, Pergasingan relatif lebih landai. Jadi pilihan kami Pergasingan. Saya memasung status WA, menghubungi beberapa orang teman. Taraaaaa dua sahabat teman mendaki pada 2015 : Suriani dan Susan mau bergabung.

Hujan cukup deras ketika kami tiba di Sembalun. Warung Mak Via, tak jauh dari masjid di depan gerbang Geopark Rinjani menjadi pilihan kami mengisi perut. Warung ini jadi warung favorit para pendaki. Bisa mengambil sendiri nasi dan lauk pauknya. Menyesuaikan porsi. Harganya juga relatif murah. Saya mengisi perut dengan setengah nasi, telur, sayur, teri. Tidak mengguyur nasi dengan sayur bersantan. Khawatir terlalu lancar pencernaan. Kurang nyaman jika harus buang hajat di pendakian. Apalagi pendakian hanya setengah hari.

Dibandingkan pendakian pertama saya tahun 2015, perubahan yang terasa adalah akses jalan. Jalan di persimpangan gang di mushola menuju loket pendakian dulunya masih jelek, kiri-kanan jalan belum banyak bangunan. Pagar pembatas lahan berupa tanaman bunga kuning yang disebut pepait. Parkir kendaraan dititip di rumah warga. Sekarang penitipan kendaraan dekat dengan loket, jalan sudah mulus dan lebih lebar sedikit. Jembatan yang membelah sungai sebelum masuk ke tangga pendakian sudah diperbaiki. Tapi saya tidak menemukan gerbang pendakian Pergasingan, seperti pendakian 10 tahun silam.

 

Karena masih sesekali bersepeda, langkah kaki di tangga pendakian Pergasingan tidak menyulitkan saya. Lutut masih kuat. Susan yang terengah-engah, selalu di bagian belakang. Di pertengahan perjalanan kami bertemu para pendaki belia. Dari wajah mereka terlihat usianya. Mereka anak-anak SMP dan SMA. Mereka menginap pada malam sebelumnya. Kami juga bertemu dengan rombongan mbak-mbak, yang sepertinya naik Pergasingan untuk bikin konten. Kostum yang mereka kenakan lebih cocok untuk aktivitas ke mall. Mereka kesulitan ketika turun karena sandal yang mereka kenalan, lebih bagus jika dibawa nongkrong di café. Suriani mengomentari jika sandal itu sedang trend, pengaruh dari film Korea.

“Bagaimana tidak ngesot cara turunnya, mereka salah pakai sandal. Salah sedikit bisa terpeleset dan kaki keseleo,’’ kata kawan yang sekarang jadi dosen di UIN Mataram ini.

***

Pendaki alay, kira-kira begitu disematkan pada pendaki pemula yang kadang tidak terlalu memerhatikan keselamatan dan kenyamanan ini. Kadang mereka kerap dituding sebagai biang kerok sampah yang menumpuk di gunung. Mereka dituding sebagai pendaki hanya untuk liburan, sekadar foto-foto atau bikin konten. Bukan pendaki militant layaknya pecinta alam yang sudah dididik untuk menjaga gunung. Beberapa anggapan itu mungkin saja benar, terutama mendaki tanpa memerhatikan perlengkapan. Tapi kalau urusan sampah di gunung, tidak adil rasanya hanya menyalahkan mereka. Yang pasti, sampah di gunung pasti dibawa oleh pendaki.

Perjalanan kami banyak bergosip tentang pendaki alay ini. Kostum yang mereka kenakan memang sangat mencolok. Berbeda misalnya dengan pendaki di bawah tahun 2015. Gear pendakian mereka benar-benar diperhatikan, sesuai standar kenyamanan dan keselamatan. Saat mendaki Pergasingan 2015 pun saya jarang menjumpai pendaki yang rada-rada aneh kostumnya. Tapi di 2025 ini, seperti masuk ke sebuah pusat perbelanjaan. Memaki sneakers, memakai celana jeans ketat, baju yang sekadar menempel di tubuh. Apa tidak kedinginan ya ? Belum lagi dengan berbagai perlengkapan tambahan, headset, aneka aksesoris untuk kebutuhan konten. Tapi para pendaki inilah yang banyak meramaikan destinasi wisata. Berkat mereka juga berbagai lokasi wisata semakin dikenal. Mereka aktif di media sosial. Mereka berkontribusi mempromosikan destinasi wisata. Di era media sosial, bidang promosi pariwisata di pemerintahan bisa istirahat, bahkan jika bidang itu ditiadakan, konten promosi pariwisata akan tetap banyak.

Tak terasa karena sibuk berbincang kami sampai juga di puncak Pergasingan. Ditandai dengan tugu Sembalun 7 Summits. Kami harus rela antri untuk foto. Beberapa pendaki berpose dengan berbagai gaya, dan ada juga yang sempat ganti kostum. Tugu ini menandai puncak tertinggi Pergasingan. Viewnya biasa saja. Pepohonan. Pemandangan baru yang menganggu adalah sampah. Botol bekas minuman, tisu basah, plastik bungkus makanan. Sebenarnya sampah-sampah itu bisa dimasukkan ke dalam botol minuman yang mereka bawa. Seperti yang saya lakukan. Saya membawa air mineral 600 ml. Ketika kosong semua bungkus makanan ringan yang kami bawa dimasukkan ke dalam botol itu. Irit tempat, sampah dibawa turun.

***

Susan balas dendam. Jika pada pendakian dia selalu di posisi paling belakang, saat turun, jurnalis di Mataram ini paling ngebut. Dia mengakui kalau saat mendaki tenaganya kurang, tapi ketika turun bisa diadu. Memiliki tulang betis yang kokoh menjadi kekuatannya. Kami menyerah jika lomba turun.

Di perjalanan turun kami banyak berjumpa pendaki yang baru naik. Pendaki siput. Selalu bertanya apakah puncak masih jauh atau dekat. Rupanya mereka pertama kali mendaki Pergasingan, dan mungkin pertama kali mendaki. Lagi-lagi kostum yang mereka kenakan cukup memprihatinkan. Jika hujan turun, mereka bisa basah kuyup. Saya berpikir pentingnya pendidikan bagi calon pendaki. Jika mereka tidak ikut klub pecinta alam, setidaknya teredukasi tentang keselamatan dan kenyamanan saat mendaki.

Dua hal ini wajib. Selamat dan nyamat. Keselamatan berarti membawa perlengkapan, yang melekat di badang, logistik, penunjang pendakian. Kenyamanan, jika salah gunakan kostum,misalnya saja sepatu kekecilan, sandal masuk mall, pendakian menjadi kegiatan menyiksa. Tidak apa-apa repot dengan perlengkapan, tapi setidaknya pendakian tidak menjadi malapetaka. Saya memiliki ingatan tramautik tentang ini. Sahabat saya ketika kuliah di Makassar, anak Lombok, meninggal dunia ketika mendaki gunung. Meninggal karena kedinginan.

Ini penting menjadi catatan bagi pengelola bukit atau tempat wisata. Sudah sering kita mendengar berita tentang wisatawan yang kecelakaan bahkan sampai meninggal dunia karena kecelakaan di tempat wisata. Jatuh, kedinginan, kurang logistik, tidak membawa obat-obatan, dan berbagai kasus lainnya. Pergasingan, walaupun pendek, 5 jam tektok, tetap harus memperhatikan keselamatan dan kenyamanan itu. Kita tidak tahu cuaca sering berubah-ubah, kita tidak tahu ketika mendaki terjadi bencana yang mengharuskan kita tinggal lebih lama di lokasi. Jika semua perlengkapan siap, pendakian kita selamat. Jangan sampai liburan menjadi petaka. (**)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *